Langsung ke konten utama

Sekapur Sirih


Nama “TUMBAK” terambil dari bahasa Ratahan (Minahasa) yaitu “Tunas” atau akar udara dari sejenis pohon kayu rawa atau ditepi laut, bernama “posi-posi” akar mana merupakan tumbak. Kayu tersebut terdapat dan kayu istimewa ditandus tumbak. Kau itulah yang menjadi sebutan tanjung tumbak atau Labuan tumbak(sekarang Negeri Tumbak).
Pada bulan April 1918 dari Tilamuta ( Gorontalo) berperahu sope’ Rombongan keluarga :
1. Sya’ban Mau Punggawa Bajo Tilamuta 12 Orang
2. Abdussamad Bachldar2 Orang
3. Sjahbandar 4 Orang
4. Ibrahim Mau suami Istri (tertua dan berumur masing-masing -/+ 100 Tahun). 2 Orang
5. Detu Darise 5 orang
6. Lahaji Mope 3 Orang
7. Mariamah mau 5 Orang
8. Sahing Cindra 5 Orang
9. Lele 5 Orang
10. Enggang Lele 3 Orang
11. Cadding Mangka 6 Orang
12. Bega 7 Orang
13. Babana 8 Orang

Sebab Bapak mantu saya (Punggawa) sakit berat maka dengan izin Pemerintah atau Hukum Kedua (Asisten Wedana) di Belang Distrik bawahan Ratahan Bapak Rulan Maringka untuk berobat secara adat bajo kami dirikan sebuah Gubuk atau teratak yang sederhana sekali di Tumbak. Dalam beberapa minggu lalu kami dikunjungi oleh Pemerintah yaitu Hukum Besar(Wedana) Ratahan Bapak Supit, Hukum Kedua R.Maringka HukumTua Minanga Tatengesan Sdr E. Pontoring HukumTua Wioi Bapak Wotulo dan beberapa pegawa-pegawai bawahan. Penjemputan kami yang sederhana rupanya sangat berkenaan bagi rombongan yang terhormat tersebut dipinta supaya kami tinggal menetap saja ditumbak agar Tumbak menjadi tempat yang aman dan tempat perkunjungan serta pelabuhan yang menghasilkan ikan.

Kami dibebaskan dari pajak jalan, tetapi setelah terbentuk Minahassraad atau D.P.R Daerah Minahasa. Kami dituntut pula membayarnya hingga kini (hari ini). Sebab kami satu kampung juga berpindah-pindah dari rantau ke rantau yang teduh karena mencari bahan-bahan dalam laut yaitu : penyu atau kulit pasir, bia Lola, caping-caping, belusu, teripang, atau ketimun laut. 

Mula-mula kami keberatan untuk menetap di Tumbak akan tetapi setelah suku Piliphina masuk Indonesia dengan memakai kacama penyelam, diiringi pula oleh suku Jepang dengan maksud mereka mencari bahan-bahan tersebut, disini kami mendapat saingan yang hebat yang mengakibatkan merosotnya hasil Ekonomi atau Penghidupan kami, dan oleh karenanya juga hingga bahan laut tersebut menjadi kurang sekali dan sangat sukar sekali didapati. Hidup kami tadinya cukup, lalu berubah jadi melarat. Persiapan-persiapan yang kami bawa dari Gorontalo, baik berupa uang, pakaian-pakaian, emas, dan perabot-perabot, berangsur-angsur keluar untuk menukar makanan dan keperluan sehari-hari, akhirnya kami menjadi penangkap ikan yang menetap ditumbak hingga kini.

Keluarga dan kenalan-kenalan dari suku Bajo, Gorontalo, Mongondou, Sula Tilamuta, Nain, Kotabunan, berangsur-angsur datang mendapatkan kami dan dengan perjodohan lalu bertinggal diTumbak berkembang sebagai kenyataan pada hari ini bulan Agustus 1957, telah berada jenis atau suku: Bajo, Gorontalo, Sanger, Mongondou, Buton, Ternate, Minahasa, Tidore, Arab, Bugis, Makassar, Irian, Bulango, Buroko, Banggai, Buol, Sula, Kaili, Mandar dan lain-lain. Semua berjumlah 600 (enam ratus) orang, yang umumnya beragama Islam.

Tahun 1923 baru kira-kira 10 buah rumah (gubuk) sebab perahu-perahu yang besar-besar masih boleh dipakai untuk berumah tinggal, tetapi telah didirikan diatas air sebuah Masjid sederhana sekali daripada kayu bakau serta dinding atapnya dari Nipa; sebagai pengantar, jama’ah semenjak itu ialah Haji Kalani suku Mandar bersama Abdussamad Bachdlar. Tahun 1928 mesjid dipindahkan dan didirikan disamping rumah Abdussamad Bachdlar, dan mulai waktu itu urusan agama dipimpin oleh Abdussamad Bachdlar. Pada Tahun 1933 dapat dibangunkan sebuah Masjid berdasar metsel dinding papan beratap seng 7 X 7 X 3 meter. Tahun 1934 dapat didirikan Madrasah “Sullamuflah” basarnya 6 X 9 X 3 meter. Dari kayu Bakau Bambu dan atap Nipa, Tahun 1941 dibuka Sekolah Rakyat 3 Tahun dengan pimpinan 2 Orang Guru Gmim. Tahun 1943 gedung S.R itu diperbesar menjadi 7 X 12 meter. Dan menjadi Sekolah Rakyat Umum 4 tahun. 
Tahun 1948 didirikan sebuah gedung sekolah besarnya 15 X 7 X 3 meter dari pada kayu dan atap Nipa hingga hari ini manjadi S.R.U 6 tahun. Tahun 1952 masjid di perbesar menjadi 12 x 12 x 4 dari metsel danatap seng lengkap dengan menaranya. Tahun 1955 walaupun belum selesai, untuk mengistirahatkan penduduk Tumbak dan melihat masjid sudah boleh dipakai, maka kami telah membuat upacara keselamatan untuk sementara. 

Kekurangan-kekurangan yang masih perlu diselesaikan ialah loteng, jendela jendelanya d kaki limanya belum selesai semuanya memerukan belanja kira kira 10.000.-adapun masjid seperti ternyata pada Foto yang saya serahkan pada tuan Yiten demata Batta dari Jawatan Tofografi itu, sudah menelan biaya Rp.65.000,-berupa uang dan tenaga seharga kurang lebih Rp.70.000,-Tahun 1956 Agustus berhubung dengan mempersekolahkan Anak dan sebagai anggota Mahkamah Syariah Daerah Manado/Minahasa serta Penasehat dari P.D.I.M. (Persatuan Imam Daerah Minahasa) maka saya berpindah ke Manado.
Pendapat saya untuk keperluan Penduduk Tumbak ialah:
a. Saluran air minum
b. Pengertian Guru dengan Guru yang berakte serta diantaranya ada yang beragama Islam.
c. Membebaskan dari pada Bea pemakaian kayu untuk penyalai ikan.
d. Diadakan Pasarnya dengan peraturan tidak boleh orang menjual hasil-hasil Kebun dan Ikan kecuali di Pasar agar terbahagi mencukupi untuk yang memerlukannya.
e. Agar dapat diusahakan jalan yang memperhubungkan Tatengesan dan Tumbak.

Sekian,
Manado, 25 Agustus 1957
Penyusun dan Pembuka
Negeri Tumbak
( A. S. BACHDLAR

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Sosial Masyarakat Tumbak Madani

Tingginya keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan Indonesia merupakan harta yang sangat berharga untuk menunjang kehidupan manusia. Kekayaan dan keindahan wilayah laut dan pesisir dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang amat penting untuk perikanan dan pariwisata. Berpuluh juta orang khususnya nelayan, menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dan pesisir (Puspitaningasih, 2012). Potensi sumberdaya di Sulawesi Utara yang kaya potensi sumberdaya pesisir dan lautan dapat memberikan kesempatan untuk berkembang usaha perikanan maupun pariwisata didaerah ini. Keadaan laut di Desa Tumbak Madani juga berperan besar dalam sektor perikanan dan juga sektor pariwisata yang belum termanfaatkan secara maksimal.  Ada beberapa jenis sumberdaya bernilai ekonomis penting yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seperti kayu bakau, moluska, terumbu karang dan ikan. Peralatan penangkapan ikan yang digunakan oleh sebagian besar nelay

Pulau Punten, Tumbak Madani Sangat Memukau

Taman laut tumbak mulai mendunia karena banyak wisatawan mancanegara (wisman) yang mengunjungi lokasi tersebut. Pemerhati dan pelaku pariwisata di Posumaen, Mario Lontaan, di Ratahan, Minggu mengatakan, Taman Laut Tumbak yang berada di Kabupaten Minahasa Tenggara, tepatnya di Kecamatan Posumaen ini bahkan telah tersohor di luar Sulut, karena keindahan bawah lautnya.  "Bahkan ada yang menyebutkan taman laut Tumbak ini, merupakan taman laut terluas di Sulut, dengan berbagai koleksi karang dan jenis ikan, makanya banyak peneliti dari Eropa seperti dari Prancis rutin melakukan penelitian di taman laut ini," katanya. Bagi sebagian warga Sulawesi Utara (Sulut) mungkin tak banyak warganya mengetahui jika kawasan pantai selatan wilayah ini mempunyai taman laut yang memiliki keindahan dan telah mendunia. Koleksi taman laut Tumbak berbagai macam dari hardcoral, dan softcoral yang sangat luas, termasuk hutan kipas laut yang luasnya sekira 300 meter, dan memiliki

Pulau Punten (Ponteng) Tumbak Madani

RATAHAN (BK): Bupati Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), James Sumendap mengatakan, pihaknya akan menata obyek pariwisata Pulau Baling-Baling dan Pulau Punten, Desa Tumbak Madani, Kecamatan Posumaen. Ia melihat langsung keindahan pulau tersebut. Ia menyatakan, keindahan eksotis laut yang dimiliki kedua pulau itu. Eksotika bawah laut menarik perhatian dan dangat layak untuk dikembangkan. "Jangan mengaku pernah datang di Mitra jika belum melihat keindahan pulau Baling-baling dan Punten di Tumbak Madani," ujar Sumendap. Ia berjanji Baling-Baling dan Punten akan dijadikan pusat pengembangan pariwisata, selain Pantai Lakban dan Pantai Bentenan.  "Pulau Baling-baling akan jadi icon Mitra. Sebab, tanpa disadari, keindahan Pulau Baling-baling dan Punten sudah menarik perhatian para touris mancanegara. Khususnya Eropa. Sudah banyak contohnya turis suka kedua pulau ini. Sampai-sampai ada yang rela datang jauh-jauh hanya untuk ber-selfie di Tumbak ini," tam